Buletin At-Tauhid edisi 06 Tahun XIV
Allah Ta’ala berfirman, “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian. Karena itu janganlah kalian membuat sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 22)
Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang tafsir ayat ini, “Yang dimaksud membuat sekutu adalah berbuat kesyirikan, yang itu adalah lebih samar daripada jejak semut di atas batu hitam di tengah kegelapan malam. Dan (kesyirikan) ini adalah dengan berkata, ‘Demi Allah dan demi hidupmu, wahai Fulanah, dan demi hidupku’, atau dengan berkata, ‘Seandainya bukan karena anjing ini, maka pasti kita didatangi para pencuri,’ atau dengan berkata, ‘Seandainya bukan karena ada angsa di rumah, maka pasti para pencuri itu datang,’ atau perkataan seseorang ke temannya, ‘Jika Allah berkehendak dan engkau berkehendak,’ atau dengan berkata, ‘Kalau bukan karena Allah dan Fulan.’ Janganlah engkau sebutkan Fulan di dalam perkataan-perkataan tersebut, karena ini semua adalah kesyirikan.” (Tafsir Ibn Abi Hatim no. 229)
Dari perkataan Ibn ‘Abbas di atas, ada beberapa ucapan yang digolongkan sebagai kesyirikan oleh beliau, sebagai berikut.
Bersumpah dengan selain Nama Allah
Bersumpah adalah ibadah yang tidak boleh diarahkan kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak boleh bagi kita untuk bersumpah dengan selain Nama Allah, seperti bersumpah dengan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ka’bah, malaikat, langit, dll. Para ulama’ sepakat atas keharamannya. Ibn ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata, “Tidak boleh bersumpah dengan selain Nama Allah tentang hal apapun dalam kondisi apapun. Ini adalah perkara yang disepakati (oleh para ulama’).” (At-Tamhid, 14/366)
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nama nenek moyang kalian. Barangsiapa yang ingin bersumpah, maka bersumpahlah dengan Nama Allah. Jika tidak, maka diamlah.” (Muttafaqun ‘alaihi) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Nama Allah, maka dia telah kafir atau berbuat kesyirikan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidziy, shahih)
Bersumpah dengan selain Nama Allah adalah termasuk dosa besar. Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata, “Di antaranya adalah bersumpah dengan selain Nama Allah, seperti Nabi, Ka’bah, malaikat, langit, air, dan amanah.” (Al-Kaba’ir hal. 103) Bahkan ‘Abdullah ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bersumpah palsu dengan Nama Allah lebih aku sukai daripada aku bersumpah secara jujur dengan nama selainNya.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabraniy, sanadnya dishahihkan oleh Al-Albaniy)
Perkataan, “Seandainya bukan karena Fulan,” atau yang semisalnya
Menisbatkan sesuatu kepada sebab tanpa menisbatkannya kepada Allah adalah bentuk kesyirikan yang harus kita jauhi. Contohnya adalah perkataan, “Seandainya bukan karena Fulan, maka acara ini tidak akan berjalan sukses.”
Tentang tafsir ayat, “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah,” (QS. Yusuf : 106) Al-Qurthubiy rahimahullah berkata, “Maknanya adalah bahwa mereka berdoa kepada Allah agar Dia menyelamatkan mereka dari marabahaya. Namun setelah selamat, mereka berkata, ‘Seandainya bukan karena Fulan, maka kita tidak akan selamat,’ atau, ‘Seandainya bukan karena anjing, maka kita akan kedatangan pencuri,’ dan semisalnya. Maka mereka menjadikan nikmat Allah dinisbatkan kepada Fulan, dan penjagaan Allah dinisbatkan kepada anjing. Banyak orang awam dari kaum muslimin telah terjatuh ke dalam perkataan semacam ini.” (Tafsir Al-Qurthubiy, 9/273)
Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Dalam perkataan ini terdapat kesyirikan jika ia melihat kepada sebab tanpa Dzat yang menjadikannya sebagai sebab, yaitu Allah. Adapun menyandarkan sesuatu pada sebab syar’iy atau indrawi yang memang sudah umum diketahui, maka telah lewat pembahasannya bahwa hal ini tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya bukan karena aku, maka (Abu Thalib) pasti sudah berada di kerak paling bawah dari neraka.’ Akan tetapi, bisa jadi akan terbersit dalam hati seseorang jika ia berkata, ‘Seandainya bukan karena ini, maka pasti akan terjadi begini dan begitu, atau pasti tidak akan terjadi begini dan begitu,’ maka bisa jadi akan terbersit kesyirikan dalam hatinya, yaitu dengan menyandarkan sesuatu pada sebab, bukan pada Dzat yang menjadikannya sebagai sebab, yaitu Allah.” (Mughnil-Murid hal. 2653)
Perkataan kepada seseorang, “Jika Allah menghendaki dan engkau menghendaki.”
Perkataan semacam ini adalah kesyirikan karena penggunaan kata hubung “dan” antara lafazh jalalah Allah dan makhlukNya. Contoh lainnya adalah perkataan, “Seandainya bukan karena Allah dan Fulan, maka acara ini tidak akan berjalan sukses.” Sebelumnya kita telah membahas bahwa perkataan ini adalah kesyirikan jika lafazh jalalah Allah tidak disebutkan. Akan tetapi, jika pun lafazh jalalah Allah telah disebutkan, tetapi kemudian kita menggunakan kata hubung “dan” seperti pada contoh di atas, maka ini juga adalah kesyirikan.
Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika Allah dan engkau menghendaki.” Kemudian Nabi bersabda, “Apakah kamu menjadikanku sekutu bagi Allah? Jika Allah semata menghendaki!” (HR. An-Nasa’iy, shahih) Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian berkata, ‘Jika Allah dan Fulan menghendaki.’ Akan tetapi katakanlah, ‘Jika Allah menghendaki, kemudian jika Fulan menghendaki.” (HR. Abu Dawud, shahih)
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan antara ‘dan’ dan ‘kemudian’ adalah jika seseorang menghubungkan dengan menggunakan ‘dan’, maka ini menyamakan Kehendak Allah dan kehendak makhluk, karena dia menggabungkan antara keduanya. Adapun jika dia menghubungkan dengan menggunakan ‘kemudian’, maka ini menjadikan kehendak makhluk mengikuti Kehendak Allah, sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Dan kalian tidak mampu, kecuali jika dikehendaki Allah.’ (QS. Al-Insan : 30) Contoh lainnya adalah, ‘Seandainya bukan karena Allah dan Fulan.’ Ini adalah syirik ashghar. Namun, boleh hukumnya jika dia berkata, ‘Seandainya bukan karena Allah kemudian Fulan.’” (Ma’arijul-Qabul, 2/497)
Menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab
Selain perkataan yang disebutkan oleh Ibn ‘Abbas di atas, terdapat berbagai jenis kesyirikan lain yang seringkali orang ucapkan. Misalnya adalah ketika seseorang berkata, “Hujan ini turun karena bintang ini dan bintang itu,” atau berkata, “Jangan duduk di pintu, nanti susah dapat jodoh.”
Ini adalah kesyirikan berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama’, “Barangsiapa yang menetapkan sesuatu sebagai sebab padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab, baik secara syar’iy maupun qadariy, maka dia telah berbuat kesyirikan terhadap Allah.” (Lihat Al-Qaulul-Mufid, 1/159) Contoh sesuatu yang Allah tetapkan sebagai sebab secara syar’iy: Membaca surat Al-Fatihah dapat menyembuhkan penyakit karena ia adalah ruqyah. Contoh sesuatu yang Allah tetapkan sebagai sebab secara qadariy (yaitu, secara pengalaman atau secara ilmiah): Minum paracetamol dapat menyembuhkan demam.
Namun, ada catatan penting, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikh As-Sa’diy rahimahullah, “Tidak boleh tidak dalam masalah sebab ini kita harus mengetahui tiga hal berikut: (1) Tidak menjadikan sesuatu sebagai sebab kecuali yang telah jelas bahwa ia adalah sebab, baik secara syar’iy maupun qadariy; (2) Tidak bersandar kepada sebab tersebut. Akan tetapi, ia harus bersandar pada Dzat yang menjadikannya sebagai sebab, sambil melakukan apa yang dibolehkan oleh syari’at terhadap sebab tersebut dan bersemangat untuk mengambil apa-apa yang bermanfaat darinya; (3) Menyadari bahwa sebab, walaupun sekuat apapun pengaruhnya, maka ia akan selalu terikat pada qadha’ dan qadar Allah, dan ia tidak akan keluar darinya.” (Al-Qaulus-Sadid hal. 34)
Mencela waktu
Bentuk lain dari syirik dalam ucapan adalah ketika seseorang berkata, “Hari ini adalah hari yang sial!” Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian mencela ad-dahr (waktu), karena sesungguhnya Allah adalah ad-dahr.” (Shahih Muslim) Yakni, pengatur ad-dahr (waktu). Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Anak Adam telah menyakitiKu. Dia mencela ad-dahr, sedangkan Aku adalah ad-dahr. Seluruh urusan ada di TanganKu. Aku membolak-balikkan malam dan siang.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Maksud dari larangan ini adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh An-Nawawiy rahimahullah, “Yaitu, janganlah kalian mencela pembuat kejadian. Karena jika kalian mencela pembuat kejadian, maka terkenalah celaan itu kepada Allah Ta’ala, karena Dialah pembuat kejadian tersebut. Adapun ad-dahr, yang itu adalah waktu, maka dia tidak bisa berbuat sama sekali, karena dia hanyalah makhluk dari sekian makhluk Allah Ta’ala. Dan makna, ‘Sesungguhnya Allah adalah ad-dahr,’ adalah bahwa Dia adalah pembuat kejadian dan pencipta apa-apa yang ada.” (Syarh Shahih Muslim hal. 406) Penjelasan yang serupa juga dimuat oleh Ibn Muflih Al-Maqdisiy rahimahullah dalam kitab beliau Al-Adab Asy-Syar’iyyah (3/437)
Termasuk juga dalam bab ini adalah larangan mencela hujan dan angin, karena itu pada hakikatnya adalah celaan kepada Allah Ta’ala yang telah menurunkan hujan dan mengarahkan angin. Dari Ubay ibn Ka’ab radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela angin. Jika kalian melihat apa yang kalian benci, maka katakanlah, ‘Ya Allah, kami memohon kepada Engkau kebaikan angin ini, dan kebaikan apa yang ada padanya, dan kebaikan sesuatu yang ia dikirim karenanya. Dan kami berlindung kepada Engkau dari keburukan angin ini, dan keburukan apa yang ada padanya, dan keburukan sesuatu yang ia dikirim karenanya.’” (HR. An-Nasa’iy dan Al-Hakim, shahih)
Hanya kepada Allah kita berlindung dari segala bentuk kesyirikan, baik yang telah kita ketahui maupun yang tidak.
Penulis: Andy Octavian Latief, M.Sc (Alumnus Mahad Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Murajaah: Ustadz Afifi Abdul Wadud